Senin, 01 Juni 2009

“ BANGUN UKHUWAH DENGAN KARYA NYATA “




Perumpamaan kaum mukminin dalam hal jalinan kasih sayang, kecintaan dan kesetiakawanan, sama seperti satu tubuh, yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit, maka seluruh anggota lainnya menunjukkan simpatinya dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam

(Hadist Bukhari dan Muslim)

Indonesia, adalah negara yang hampir 90 % jumlah penduduknya menganut agama Islam, sangatlah beralasan kalau kita mempunyai asumsi bahwa semua permasalahan bangsa Indonesia merupakan masalah umat Islam secara keseluruhan, contoh yang paling gampang ketika negeri ini dihantam krisis ekonomi, maka tentunya yang paling merasakan akibatnya sebagian besar adalah penduduk yang beragama Islam.

Karenanya sebagai konsekuensi logis, umat Islam jugalah yang harus lebih dominan bertanggung jawab secara sosial dan politik dibanding umat beragama lain didalam usaha menanggulangi segala permasalahan bangsa tersebut, namun tanggung jawab sosial ini tidak akan pernah bisa muncul ke permukaan dan berlaku secara fungsional apabila umat Islam yang tersebar di berbagai lapisan ini, telah kehilangan rasa kesetiakawanannya setidak-tidaknya kepada sesama muslim.

Hadist Bukhari diatas memberikan gambaran, kepada kita semua, bahwa persoalan membangun kesetiakawanan tidaklah bisa dilepaskan dari persoalan pentingnya menjaga persaudaraan (ukhuwah), tentu dengan dibarengi tindakan-tindakan yang nyata didalam menyelesaikan bermacam persoalan tersebut, karenanya para ulama seringkali mengingatkan pada kita semua tentang pentingnya menjaga ukhuwah, baik itu ukhuwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) ataupun ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan Islam).

Hal diatas senada dengan Jalaludin Rahmat yang pernah pula menegaskan bahwa terpuruknya kondisi umat Islam di berbagai negara, yang saat ini terkepung oleh berbagai masalah seperti kemiskinan, kelaparan dan kebodohan, disebabkan karena telah hilangnya rasa kesetiakawanan sosial dan persaudaraan diantara umat Islam itu sendiri ,yang kemudian berdampak pada semakin melebarnya jurang kesenjangan sosial di semua lapisan masyarakat.
Penyebabnya adalah jelas karena umat Islam selama ini cenderung keliru mengartikan kata ibadah dengan membatasinya hanya pada pengertian ibadah-ibadah ritual belaka, lebih jauh beliau mengatakan betapa banyak umat Islam yang disibukkan dengan urusan-urusan ibadah mahdhah tetapi mengabaikan persoalan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka, akibatnya kesolehan ritual (ritual piety) selalu lebih besar dari pada kesolehan sosial (social piety).
Dengan bahasa yang agak puitis, jalaludin menulis betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusyuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi. Atau betapa mudahnya jutaan -bahkan milyaran- uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak tidak dapat melanjutkan sekolah, ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi, ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Padahal pada masa lalu Islam telah mampu diaplikasikan sebagai sebuah ajaran yang juga efektif sebagai solusi untuk menanggulangi semua permasalahan sosial yang terjadi, hingga Islam dikenal pula sebagai agama pembebas kaum mustad’afin dan dhu’afa, untuk itu mesti ada usaha yang bisa membuat ajaran Islam kembali bisa diimplementasikan secara nyata dalam menyelesaikan segala persoalan ummat sebagaimana digambarkan diatas. Tiada cara lain kecuali dengan bersinergis meningkatkan rasa persaudaraan dan melakukan karya-karya nyata.

Keberagaman atau perbedaan kondisi fisik, ekonomi, dan status sosial diantara kaum muslimin sebenarnya adalah fitrah atau sunnatullah semua makhluk yang hidup di alam fana ini, sebagaimana tercantum dalam (Qs, Al-Ahzab : 62 ) : "sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah". Dan ini sebetulnya mesti kita tafakuri sebagai bagian dari keindahan yang diciptakan oleh sang maha kuasa, Allah SWT, agar mereka saling mengenal, saling berkomunikasi bahkan saling membantu.

Sebenarnya mudah saja bagi Allah SWT untuk menjadikan ummat manusia ini ada dalam kondisi atau keadaan yang seragam, tetapi ini tidaklah menjadi kehendakNya, dengan maksud agar , kita selaku ummatnya mempunyai peluang untuk selalu berlomba-lomba dalam hal berbuat kebajikan, sebagaimana di sebut dalam (Qs, Al-Maidah: 48) : "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya "

Kesenjangan sosial, maupun permasalahan ummat yang lainnya ini akan menjadi masalah besar apabila semuanya nampak menjadi tidak wajar (irrasional), yang bisa diindikasikan dengan munculnya kecemburuan sosial yang berlebihan dan menjurus pada sesuatu tindakan yang destruktif diantara sebagian muslim terhadap sebagian muslim yang lainnya, ini bisa terjadi bila memang tidak ada kepedulian, rasa kesetiakawanan dan persaudaraan diantara kita, inilah sebenarnya pekerjaan rumah yang saat ini mesti kita pikirkan dengan serius, yang jelas Allah SWT pernah mengisyaratkan bahwa bukan termasuk umat-Ku yang tidak peduli pada saudaranya, untuk itu mari kita bangun ukhuwah dengan karya nyata, Wallahu a’lam bishawwab.